“Maaf ya, Nak. Bapak cuma sanggup menyekolahkanmu di SMK Taruna Bhakti Adimulyo.” Bapak menunduk, suaranya bergetar menahan sedih. Di tanganku tergenggam ijazah SMP dengan nilai yang pas-pasan. Aku, Rizki Saputra, hanya bisa tersenyum tipis. Sebagai anak tukang becak, aku paham betul keterbatasan ekonomi keluargaku.
SMK Taruna Bhakti Adimulyo adalah sekolah dengan akreditasi C di pinggiran kota. Gedungnya seperti bangunan tua yang tak terawat – cat mengelupas, beberapa jendela pecah ditambal kardus, dan atap yang bocor saat hujan. Sekolah ini jadi pilihan terakhir bagi mereka yang tak mampu membayar sekolah bagus atau tak diterima di sekolah negeri.
“Eh lihat, si Rizki masuk SMK rongsokan!” Begitu ejekan yang kuterima dari teman-teman SMP. Beberapa bahkan terang-terangan menghindar saat berpapasan denganku. Rasanya sakit, tapi aku berusaha tidak peduli.
Hari pertama masuk sekolah, aku terkejut melihat bengkel praktik jurusan Teknik Kendaraan Ringan. Peralatannya sudah berkarat, motor untuk praktik hanya ada dua, dan itupun model lawas tahun 90-an. Tapi justru di situlah, takdir mulai menulis cerita berbeda.
“Rizki, kamu ngerti nggak cara kerja karburator?” tanya Pak Joko, guru produktif kami, saat praktik pertama. Entah kenapa, meski nilai akademikku biasa saja, tanganku seperti punya ‘feeling’ sendiri saat berhadapan dengan mesin. Pengalaman sering membantu Bapak memperbaiki becaknya ternyata berguna.
“Paham, Pak,” jawabku mantap, lalu menjelaskan detail komponen dan cara kerjanya. Mata Pak Joko berbinar. Sejak saat itu, dia sering memintaku membantu teman-teman yang kesulitan saat praktik.
Di tahun pertama, aku memberanikan diri ikut lomba service sepeda motor tingkat kota. Tidak ada yang berharap banyak – mana mungkin siswa dari sekolah akreditasi C bisa menang? Tapi mereka salah. Aku meraih juara pertama, mengalahkan peserta dari sekolah-sekolah favorit.
Prestasi itu jadi awal perubahan. Berita kemenanganku menarik perhatian bengkel-bengkel besar di kota. Mereka mulai menyumbangkan peralatan bekas tapi masih bagus untuk sekolah kami. Bahkan ada yang mengirim motor-motor untuk praktik.
“Kalian lihat Rizki?” Pak Joko berbicara di depan kelas suatu hari. “Dia membuktikan bahwa bukan sekolah yang membuat seseorang hebat, tapi tekad dan kerja kerasnya.”
Prestasiku berlanjut – juara provinsi, lalu tingkat nasional. SMK Taruna Bhakti Adimulyo mulai dikenal. Siswa-siswa lain termotivasi, mulai ikut berbagai kompetisi di bidang mereka masing-masing. Prestasi demi prestasi bermunculan, tidak hanya di jurusan otomotif.
Memasuki tahun ketiga, sekolah kami sudah berubah total. Bengkel praktik kini lengkap dengan peralatan standar industri. Kerjasama dengan berbagai perusahaan otomotif terjalin. Yang paling membanggakan: akreditasi naik menjadi A, dan SMK Taruna Bhakti Adimulyo jadi tujuan favorit lulusan SMP.
“Rizki,” panggil Bapak di hari kelulusan, matanya berkaca-kaca. “Bapak minta maaf dulu cuma bisa menyekolahkanmu di sini.”
Aku memeluk Bapak erat. “Justru ini sekolah terbaik, Pak. Di sini saya menemukan passion saya.”
Hari ini, lima tahun setelah lulus, aku sudah menjadi kepala mekanik di bengkel resmi pabrikan motor terbesar di Indonesia. Tapi yang lebih membanggakan, SMK Taruna Bhakti Adimulyo kini jadi salah satu SMK percontohan nasional untuk jurusan otomotif.
Sering aku diundang ke sekolah, berbagi cerita dengan adik-adik kelas. “Jangan pernah malu dengan sekolahmu,” pesanku pada mereka. “Yang menentukan masa depanmu bukan nama sekolahmu atau nilai rapormu, tapi seberapa keras kamu berusaha menemukan dan mengembangkan bakatmu.”
Dari sekolah pinggiran yang hampir tutup, kini SMK Taruna Bhakti Adimulyo jadi bukti bahwa mimpi bisa tumbuh di tanah yang paling tandus sekalipun. Dan aku bangga menjadi bagian dari perubahan itu.