“Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu, Dimas?”
Kalimat itu sudah terlalu sering Dimas dengar. Di meja makan, di ruang keluarga, bahkan di depan kerabat saat lebaran. Kakaknya, Adit, adalah murid teladan yang selalu juara kelas. Sementara Dimas? Dia bahkan kesulitan membaca dengan lancar di kelas 4 SD.
“Adit sudah hafal perkalian sejak kelas 2, kenapa kamu masih belum bisa?” keluh Ayah sambil menggelengkan kepala. Di sudut ruangan, Dimas meremas ujung bajunya, menahan air mata.
Setiap malam, diam-diam Dimas mencoba belajar sendiri. Tapi angka-angka itu seolah menari di depan matanya, huruf-huruf seperti berlompatan. Tak ada yang tahu bahwa dia mengalami disleksia – kesulitan belajar yang membuatnya sulit membaca dan berhitung.
Hingga suatu hari, guru barunya, Pak Rafi, memperhatikan sesuatu yang berbeda dari Dimas.
“Gambarmu bagus sekali, Dimas,” puji Pak Rafi, melihat coretan di buku tulisnya. Di sela-sela catatan yang berantakan, ada sketsa-sketsa detail yang menakjubkan.
“Benarkah, Pak?” mata Dimas berbinar. Untuk pertama kalinya, ada yang memuji kemampuannya.
Pak Rafi mulai mendampingi Dimas, mengajarinya dengan cara berbeda. Angka-angka dijelaskan dengan gambar. Huruf-huruf dikenalkan melalui cerita. Perlahan, Dimas mulai memahami pelajarannya.
“Kamu tidak bodoh, Dimas,” kata Pak Rafi suatu hari. “Kamu hanya belajar dengan cara yang berbeda. Dan kamu punya bakat luar biasa dalam seni.”
Dimas mulai mengikuti les menggambar. Tangannya seperti punya jiwa sendiri saat menciptakan karya. Nilai pelajarannya pun membaik, meski tidak secemerlang Adit. Tapi kini dia punya kepercayaan diri.
Sepuluh tahun kemudian…
“Dimas Pratama, desainer muda berbakat dari Indonesia, memenangkan kompetisi desain internasional di Tokyo,” begitu bunyi headline koran pagi itu.
Ayah yang sedang menyesap kopi tersedak. Ibu yang sedang menyapu langsung terduduk di kursi. Adit yang kini jadi dokter, tersenyum bangga.
Di studio desainnya yang modern, Dimas memajang piala dan penghargaannya. Tapi yang paling dia banggakan adalah sebuah bingkai berisi gambar pertama yang dipuji Pak Rafi dulu.
“Desain terbarumu luar biasa, Dimas!” puji seorang klien dari perusahaan teknologi terkenal. “Bagaimana kamu bisa punya ide seunik ini?”
Dimas tersenyum. “Mungkin karena saya melihat dunia dengan cara yang berbeda.”
Kini, selain menjalankan studio desainnya yang sukses, Dimas sering memberikan seminar untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Dia mendirikan yayasan yang membantu anak-anak dengan kesulitan belajar.
“Tidak ada anak yang bodoh,” katanya dalam sebuah Ted Talk yang viral. “Yang ada hanya anak-anak yang belum menemukan cara belajar yang tepat untuk mereka. Dan yang lebih penting, belum menemukan bakat istimewa mereka.”
Suatu malam, di rumah orang tuanya…
“Maafkan Ayah dan Ibu, Dimas,” kata Ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Dulu kami selalu membandingkanmu dengan kakakmu.”
Dimas memeluk kedua orangtuanya. “Tidak apa-apa, Yah, Bu. Justru itu yang membuat aku terus berusaha menemukan jalanku sendiri.”
Adit menepuk pundak adiknya. “Kau bahkan lebih sukses dariku sekarang, Dik.”
“Kita sukses dengan cara kita masing-masing, Kak,” jawab Dimas bijak. “Kau menyelamatkan nyawa orang dengan tanganmu, aku membuat dunia lebih indah dengan tanganku.”
Di dinding ruang keluarga, terpajang dua foto dengan bingkai yang sama besar. Foto Adit dengan jas dokternya, dan foto Dimas menerima penghargaan desainer terbaik. Kedua foto itu berdampingan, sama tinggi, sama berharganya.